Kiat Menghadapi Batita yang Gampang Rewel tanpa Terbawa Emosi
TABLOIDBINTANG.COM - Di usia batita (bawah 3 tahun), anak mulai mengembangkan kemampuan kognitif untuk merasakan berbagai emosi, namun belum mengetahui benar cara mengendalikannya. Kegembiraan kecil bisa membuat mereka tertawa bahagia, sebaliknya kesalahan sepele bisa menyebabkan mereka menangis meraung-raung. Namun yang terlihat di mata orang dewasa, di usia ini anak sulit diatur, bertingkah sesuai kehendak, dan mudah marah. Inilah sebabnya muncul istilah threenager, yakni kecenderungan anak usia 3 tahun dengan ego mirip dengan remaja.
Ketika anak rewel dan menangis, orang tua berharap mereka bisa mengendalikan emosi. Sehingga sering terlontar kalimat, “Jangan begitu, dong Nak! Kenapa begitu saja menangis, sih?” Tanpa disadari, ekspektasi orang tua terhadap kemampuan emosional anak batita terlalu tinggi sehingga memicu konflik dan respons yang salah.
Kesenjangan Ekspektasi
Zero to Three, laman yang berisi informasi seputar 3 tahun kehidupan pertama anak di Washington D.C., AS, pada Oktober 2015 menggagas survei tentang pemahaman orang tua terhadap kemampuan anak batita mengontrol emosi. Hasil survei yang melibatkan orang tua dari generasi X dan Y mengungkap, 56 persen orang tua meyakini anak mampu menahan diri dari keinginan melakukan sesuatu yang dilarang sebelum usia 3 tahun; 36 persen percaya anak di bawah 2 tahun sudah mampu mengontrol emosi; 43 persen berpikir anak mampu berbagi dan menunggu giliran dengan anak lain sebelum usia 2 tahun; dan 24 persen mengira anak mampu menahan ledakan emosi ketika mereka frustrasi sebelum usia 2 tahun.
Kenyataannya, kemampuan mengontrol emosi baru berkembang di usia 3,5 hingga 4 tahun – bahkan butuh waktu lebih lama untuk menjadi konsisten. Di usia itu pula, kemampuan anak untuk berbagi sesuatu dengan orang lain baru mulai tumbuh. Ini sebabnya Zero to Three menyebut terdapat expectation gap atau kesenjangan ekspektasi orang tua terhadap anak, yang berefek pada munculnya respons yang salah terhadap emosi anak.
“Menaruh ekspektasi realistis terhadap kemampuan anak sangatlah penting demi mendukung perkembangan yang sehat dan meminimalkan stres kedua pihak, yakni anak dan orang tua,” urai Matthew Melmed, Direktur Eksekutif Zero to Three. “Sebagai contoh, jika orang tua berpikir kemampuan mengontrol diri pada anak lebih besar – daripada yang sesungguhnya dimiliki, ini bisa menyebabkan orang tua frustrasi saat menghadapi anak sehingga memunculkan respons cenderung menghukum,” imbuh Melmed.
Hindari Kekerasan
Untuk mengatasi kesenjangan ekspektasi ini, Melmed menekankan kepada orang tua, “Tahun-tahun pertama (kehidupan anak) adalah tentang mengajarkan, bukan menghukum. Ketika orang tua menaruh ekspektasi realistis terhadap kemampuan anak, mereka akan mampu mengatur perilaku dengan cara efektif dan lebih sensitif (terhadap kemampuan anak).”
Selama seribu hari pertama kehidupan mereka, 700 koneksi saraf terbentuk dalam otak anak setiap detiknya. Bagaimana cara orang tua, juga pengasuh, berinteraksi dan berhubungan dengan anak-anak di awal kehidupan mereka sangat berpengaruh terutama dalam membangun otak anak. “Penelitian tentang perkembangan anak usia dini menunjukkan, faktor terpenting dalam menstimulasi perkembangan otak yang sehat adalah dengan interaksi berkualitas antara anak dan orang-orang di sekitarnya,” ungkap Jackie Bezos, pimpinan Yayasan Keluarga Bezos, yayasan independen yang berkonsentrasi terhadap pendidikan dan lingkungan untuk anak yang berbasis di Seattle, AS.
Bantulah anak memahami dan mengendalikan emosi. Tidak perlu ikut terpancing emosi jika anak batita Anda mulai kehilangan kendali emosi. Menghadapi anak yang emosional dengan tindak kekerasan (fisik dan verbal) hanya akan menggoreskan luka di hati anak dan merusak perkembangan otak mereka. Bersabarlah, karena pasti akan tiba saatnya kemampuan anak mengendalikan emosi tumbuh dan berkembang.
(riz)